Impor sampah atau limbah nonbahan berbahaya dan beracun (B3) untuk kelompok kertas dan plastik masih dilakukan sejumlah negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Basis Data Statistik Perdagangan Komoditas Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Comtrade), pada 2022 volume impor sampah plastik Indonesia mencapai lebih dari 194.000 ton.
Laporan dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime tahun 2021 mencatat, impor sampah dari negara-negara Barat ke Asia dan Afrika telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Laporan itu juga menyebutkan, negara-negara di Asia Tenggara telah menjadi tujuan impor sampah terbesar dari Eropa, Amerika Utara, dan Australia.Namun, banyak dari negara pengimpor sampah hanya memiliki fasilitas daur ulang dasar. Banyak dari negara pengimpor sampah yang mayoritas merupakan negara berkembang juga tidak memiliki fasilitas untuk mengolah sampah dengan aman dan efektif.
Kondisi tersebut membuat negara tujuan impor sampah, termasuk Indonesia, tidak dapat mengolah limbah campuran ataupun B3 secara khusus. Hal ini ditegaskan dalam laporan dan investigasi dari Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton) yang mengungkap bahwa sebagian sampah yang diimpor ke Indonesia tidak dikelola dengan baik oleh perusahaan.Selain itu, negara pengekspor kerap menyelundupkan jenis sampah lainnya yang tidak sesuai dengan perjanjian. Beberapa negara pengekspor masih menyisipkan sampah plastik, seperti bungkus makanan yang elastis saat proses impor sampah kertas ke Indonesia. Pada akhirnya, sampah campuran plastik dari hasil impor dikelola dengan cara dibuang atau dibakar hingga menimbulkan persoalan lingkungan dan kesehatan bagi manusia.Sampah plastik yang dibakar dapat melepas racun dioksin yang sangat berbahaya bagi manusia. Sementara pembakaran sampah plastik dapat melepas mikroplastik.
Direktur Eksekutif Ecoton Daru Setyorini mengemukakan, sampah impor yang masuk ke Indonesia sejak tahun 1970-an lebih banyak dari jenis kertas mengingat saat itu sedang terjadi pertumbuhan pabrik kertas. Pada tahun 2019, jumlah sampah impor ke Indonesia meningkat setelah China menutup impor sampah ke negaranya.
”Pengumpulan sampah di negara maju sudah terpilah, tetapi mereka tidak mau mendaur ulang. Akhirnya mereka membuang sampahnya ke negara berkembang dengan alasan untuk didaur ulang. Sebenarnya kita mengalami penjajahan karena ekspor sampah ini,” ujarnya dalam diskusi daring terkait dengan sampah impor akhir Agustus lalu.
Dengan jumlah penduduk mencapai 280 juta jiwa, Indonesia memang bisa menghasilkan sampah daur ulang dengan jumlah yang besar. Akan tetapi, mayoritas sampah daur ulang di Indonesia tidak dipilah dengan baik sehingga tercampur dengan jenis sampah lainnya.
Pengumpulan sampah di negara maju sudah terpilah, tetapi mereka tidak mau mendaur ulang. Akhirnya mereka membuang sampahnya ke negara berkembang dengan alasan untuk didaur ulang. Rini mengakui bahwa Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang menyeluruh. Setidaknya sebanyak 70 persen sampah belum dikelola dengan benar. Hal ini membuat banyak sampah tercecer ke lingkungan ataupun dikelola dengan cara dibakar.
Sumber Referensi :
https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/09/08/mengatasi-dampak-negatif-impor-sampah-ke-indonesia?open_from=Search_Result_Page