TULUNGAGUNG (26/8) – Pergulatan masyarakat menghadapi krisis plastik kini mulai mendapat perhatian serius dari kalangan kampus. Dalam rangkaian Pengenalan Budaya Akademik Kemahasiswaan (PBAK) 2025, Universitas Islam Negeri (UIN) Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Ecoton dan Aliansi Lereng Wilis (ALWI) Tulungaung menampilkan instalasi edukatif berbentuk kran plastik. Simbol ini menyuarakan pesan tegas: hentikan produksi plastik sekali pakai dan hentikan polusi plastik yang kian membebani lingkungan.

Kehadiran ribuan mahasiswa baru disambut dengan rangkaian kegiatan yang bukan hanya seremonial, melainkan juga edukatif. Instalasi kran plastik memperlihatkan bagaimana sampah plastik, jika terus diproduksi dan dikonsumsi, tak ubahnya aliran yang tak terbendung: mencemari sungai, masuk ke rantai makanan, hingga berakhir sebagai mikroplastik di tubuh manusia.
UIN SATU Tulungagung juga mencatatkan prestasi di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) lewat pembuatan 3.648 tong sampah berbahan bambu oleh mahasiswa baru. Namun, rekor ini tidak sekadar simbol kebanggaan. Menurut Rektor Prof. Abd. Aziz, capaian itu merupakan bagian dari ReliGreen, gerakan kampus hijau yang terintegrasi dengan program Kementerian Agama, yakni Ekoteologi. “Prestasi ini meneguhkan komitmen kampus untuk menjadikan ekoteologi bukan wacana, melainkan praktik nyata,” ujarnya.

Manajer Divisi Edukasi Ecoton, Alaika Rahmatullah, menekankan bahwa polusi plastik sudah seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Sungai-sungai di Tulungagung, termasuk Brantas yang menjadi sumber air masyarakat, kini terpapar plastik dan mikroplastik.
“Polusi plastik adalah masalah keadilan ekologis. Dampaknya tidak hanya pada sungai, tetapi juga pada kualitas ikan yang dikonsumsi warga dan kesehatan masyarakat. Inilah yang kami ingin kenalkan sejak dini kepada mahasiswa,” kata Alaika.

Tulungagung sendiri menghadapi persoalan serius dalam pengelolaan sampah. Data Ecoton dan Aliansi Lereng Wilis (ALWI) menunjukkan, sebagian besar sampah plastik berakhir di aliran sungai dan tempat pembuangan terbuka. Kondisi ini memperburuk kualitas lingkungan hidup, memicu banjir, dan menambah beban kesehatan masyarakat.
“Tulungagung sampai saat ini mengenai pengelolaan sampah masih belum merata, regulasi yang ada juga tidak dijalankan dengan baik. Tentu ini menjadi sorotan kami selaku pegiat lingkungan. Peran akademisi sekaligus mahasiswa ini akan menjadi tolak ukur masyarakat untuk ikut serta memberikan dampak yang baik untuk lingkungan terutama berkomitmen untuk terlibat dalam edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat” ungkap Harun Koordinator ALWI Tulungagung.
Melalui PBAK 2025, UIN SATU Tulungagung, Ecoton dan ALWI Tulungagung ingin menegaskan: solusi atas krisis plastik tidak bisa bergantung pada individu semata. Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan produsen. Termasuk dorongan kuat untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) agar produsen bertanggung jawab penuh atas jejak plastik yang mereka hasilkan. (*)